Masih Akan
Menggiurkankah Beternak Puyuh? Dari tulisan yang berfokus pada
perhitungan sederhana analisis beternak puyuh, khususnya dari analisis model
dari Puyuh Jaya, yang memberikan keuntungan sekitar Rp 6 Juta ditambah puyuh
apkir senilai Rp 3,2 Juta untuk satu tahun dan 2000 ekor puyuh, maka dengan
jumlah tersebut, setiap ekor puyuh yang dipelihara dan dibeli, memberikan
kontribusi dalam satu tahun sebesar Rp 6 juta dibagi 2000 puyuh = Rp 3000 per
puyuh selama 12 bulan.Ini artinya Rp 3000 dibagi 12 atau Rp 250 per bulan sama
dengan 8,2 rupiah per hari. Saya merasakan hitungan ini
menjadi hitungan bunuh diri. Artinya, beternak puyuh bukanlah cara
menarik untuk meraih penghasilan. Apalagi menurut hitungan analisis
tersebut, berbagai komponen biaya belum dihitung. Jadi, boleh dikatakan,
yang akan terjadi adalah tepuk lalat belaka.
Jadi sangat wajar jika ada komentar
di blog puyuhjaya seperti ini :
Komentar Untung Puyuh
Sebagai peternak puyuh baru yang
terlanjur membeli pullet, akhirnya saya sadari bahwa iming-iming “untung”
menggiurkan, sebenarnya tidak lebih dari pepesan kosong belaka. Kalau ada
peternak dan hanya itu yang diandalkan, maka mimpi untuk sukses beternak puyuh
harus dikubur dalam-dalam.
Ada memang yang berhasil dan menjual
pullet ke banyak calon peternak atau peternak lainnya. Pullet itulah yang
memberikan keuntungan lumayan. Dengan biaya setengahnya dan dalam periode
relatif pendek, keuntungan bisa mencapai 100% dalam satu bulan. ada analisis Puyuh Jaya terlihat jelas, biaya pullet Tahun
2011 kurang lebih Rp 3600,- (7,2 juta rupiah untuk 2000 puyuh). Potensi
keuntungan Rp 6 Juta itu setelah dikurangi biaya pullet Rp 7,2 Juta.
Kalau membeli pullet yang harganya Rp 7 ribu, maka jelas potensi keuntungan
akan hilang dan selama setahun akan nombok minimum Rp 1,2 juta. Jadi
jelas membeli pullet bukanlah pilihan yang baik. Yang paling logis
dalam hitungan adalah tetaskan telur sendiri, buat pakan sendiri (atau paling
sedikit oplos dari pakan pabrik).
Kalau harga puyuh pullet sekitar Rp
5000,- di Tahun 2013 ini, maka memang membeli pullet layak
dipertimbangkan. Saya juga menjual pullet puyuh dengan harga antara 9000
-10 ribu. Namun, setelah membaca analisis Puyuh Jaya dan membuat simulasi
keuntungan sendiri, saya menarik kesimpulan bahwa harga pullet sebesar ini
sesungguhnya mematikan pemain baru untuk beternak puyuh jika mencari jalan
pintas berusaha. Mengapa?. Ya karena potensi keuntungan telah
diambil oleh penjual pullet.
Fakta ini rasanya tidak mudah dipatahkan.
Persoalan berikutnya : saya
sudah membeli pullet dalam jumlah cukup banyak dan telah membayar pula.
Kemudian, saya tahu bahwa peluang untuk bertahan sebagai peternak puyuh
terancam. Jadi, harus ada upaya ekstra untuk mempertahankan dan
meningkatkan kemampulabaan usaha, setelah investasi tertanam disimpulkan sulit
untuk kembali. Apalagi fakta kemudian, probabilita untuk menghasilkan
produksi rata-rata 80% untuk burung puyuh yang mudah stress, perubahan cuaca
bisa menurunkan produksi, ada gangguan tikus produksi langsung turun, didatangi
oleh teman ke kandang puyuh, produksi bisa turun maka mempertahankan tingkat
produktifitas yang tinggi bukanlah perkara mudah. Singkatnya, tidak
semudah model yang disajikan oleh Puyuh Jaya.
Lha, sudah dengan hitungan model
dari pakar berpengalaman saja seperti itu, apa lagi yang mau diharapkan?.
Tapi itu adalah analisis kemitraan. Kalau beternak sendiri, modal sendiri, dan pola
pengembangan sendiri. Boleh jadi cerita kusam tersebut bisa berganti
sedikit lebih ceria. Bukankah yang dibahas pada model analisis Puyuh Jaya
itu berbicara tentang keuntungan sebesar 6 jutaan rupiah dan telur sebanyak 400
ribu butir. Dengan kata lain, selisih harga 1 rupiah saja dari model
dikalikan 400 ribu butir sama dengan Rp 400 ribu. Jadi kalau harga
rata-rata telur 180 rph, keuntungan bisa meningkat hampir 2 juta dalam masa
pemeliharaan satu tahun tersebut. Kalau biaya pakan diatur dan dikelola
sedemikian rupa sehingga biayanya turun sebesar 500 rp per kilogram, maka akan
ada tambahan keuntungan sebesar 6 juta lagi. Begitu juga, kalau saya
berhasil menurunkan konsumsi pakan 1 gram saja, dari 23 gram menjadi 22 gram
saja, maka satu gram tersebut akan bernilai sekitar Rp 2,5 juta dalam satu
periode pemeliharaan.
Lha, kalau begitu, untuk
meningkatkan laba usaha, perlu dilakukan pertimbangan dan tindakan :
Hemat Pakan.
Hemat penggunaan pakan secara
efektif setiap harinya, tentu tanpa mengurangi produktifitas. Jika
mungkin, kurangi signifikan. Dalam kasus ini, saya mencoba hanya
memberikan pakan puyuh hanya maksimum 20 gram saja setiap hari. Jam 9
pagi diberikan pakan sebanyak 9 gram saja per puyuh dan sore hari 11 gram per
hari. Sebagai konpensasi, saya tambahkan probiotik (em4 atau sejenisnya)
ke dalam pakan. Jika pengurangan pakan ini dihitung dengan cara
puyuh jaya, akan ada selisih tambahan sekitar Rp 7 Juta. Perlakuan ini,
setelah dicoba ternyata tidak menimbulkan “protes” dari puyuh. Hasil
telur yang dihasilkan tidak mengalami penurunan. Yang memang harus naik,
ya tetap naik. Jika dilihat dari lamanya komsumsi, setelah diberikan
probiotik atau saya campur dengan whey (kefir bening), pakan yang dimakan baru
habis sekitar 2-3 jam setelah diberikan (sampai sekitar jam 12 atau 13 siang
baru habis. Kemudian pemberian pakan jam 3 sore, baru mulai habis
dikonsumsi setelah magrib. Jadi, pola komsumsi pakan ini malah “lebih
awet” dibandingkan sebelum diberikan whey atau probiotik. Sedangkan
ukuran tubuh dan tingkat kegemukan dari puyuh, relatif tidak berubah.
Karena tingkat produktifitas harian berkisar antara 70-90% dari setiap kandang,
maka saya menilai keputusan yang diambil tepat. Sebenarnya, saya masih
ingin memberikan pakan di bawahnya lagi, yaitu ke 17 atau 18 gram saja, tapi
ini belum dilakukan.
Oplos Pakan Pabrik.
Awalnya komsumsi pakan yang
diberikan buatan pabrik yang dikenal sebagai PY. Karena ada info dari
rekan, bagusan pakai CG (Cargil), maka saya ganti dengan pabrik ini.
Kebutuhan sekitar 30 Kg per hari. Harga per karungnya (50 Kg) seharga Rp
270 ribu atau Rp 5400,- per Kg. Rasanya harga ini cukup mencekik
juga. Untuk itu, saya berusaha mengakali dengan mengoplos secara
bertahap, setiap hari dikurangi 1 kg pakan pabrik dan digantikan dengan pakan
buatan sendiri (dedak halus, premix, tepung pindang, grid, perangsang telur,
jagung giling). Bahan campuran ini, kalau dihitung, harganya berkisar
antara 4000 – 4200,- Kg. Sekarang tingkat penggunaan sudah mencapai 15 Kg
pakan pabrik dan oplosan juga 15 Kg. Produktifitas relatif tidak
mengalami perubahan, artinya tingkat produktifitas berkisar antara
70-90%. Sebagai bonus untuk puyuh yang cantik-cantik ini, seminggu sekali
atau seingatnya saja, diberikan kulit kacang kedelai yang diambil gratisan dari
pasar terdekat.
Dengan oplosan ini, maka harga
rata-rata menjadi Rp 4500 – Rp 4600, per Kg-nya. Jika angka ini saya
masukkan ke model Puyuh Jaya, maka di luar harga puyuh apkir, probabilita
keuntungan bisa mencapai 3 kali lipat dari model yang dikembangkan. Biaya
investasi untuk membeli mesin pakan sendiri tentu saja ada. Namun,
relatif yang digunakan hanya sebuah mesin giling daging bermesin seharga 1,5
juta.
Menjual Sendiri.
Jika harga perhitungan pada saya
naikkan 10 rupiah per butir telur, maka akan berpeluang menambah keuntungan Rp
4 juta. Dengan kata lain, jual ke konsumen akhir lebih
menguntungkan. Namun, tentu saja harus ada daya tambahan yang tidak akan
kalah serunya. Sebagian kecil produksi, masuk ke konsumen akhir.
Lumayan, ada tambahan keuntungan seribu atau dua ribu per kilogramnya.
Jadi, kesimpulan akhirnya.
Tidak cukup menggiurkan, tapi masih mungkin untuk menggali potensi keuntungan
yang lebih menggiurkan…..
Limbah Kulit Telur Sebagai Bahan Pakan
Entah benar atau tidak, kulit telur
yang terbuang dari setiap telur yang isinya kita makan, sebenarnya mengandung
sumber gizi yang luar biasa. Saya dapatkan informasi dari sini (klik link). Kalau ya,
maka ini satu peluang yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber gizi
untuk ternak yang saya pelihara. Sebagai peternak pemula, saya kumpulkan
kulit telur dari para pedagang, pedagang nasi goreng keliling, dan pembuat kue
yang ada di sekitar rumah. Lumayan, bisa dapat kulit telur satu atau dua
kilo setiap hari. Akhirnya, saya putuskan membeli saja pada orang yang
bersedia mengumpulkannya, seharga Rp 500,- kg.
Tidak ada masalah dengan kulit telur
ini, tapi bila yang dikumpulkan sudah berhari-hari, baunya minta ampun
deh. Sisa isi telur ikutan luar biasa baunya. Sangat mudah
mengundang lalat, dan tidak jarang pula sudah berisi belatung. Belatung
bisa bertumpuk di bawah kulit telur yang membusuk. Apaboleh buat, dengan
target untuk menekan biaya pakan, usaha untuk memproses kulit telur sebagai
grid (gilingan kulit telur) tetap dilakukan. Dengan menggantikan grid
kering yang dibeli di toko pakan ternak seharga Rp 1500 per kilo, maka
setidaknya saya bisa menghemat setengahnya.
Hasil uji coba terhadap ayam nyaris
apkir yang dibeli dengan harga 40 ribu (usia 1,6 tahun) sebagai tambahan pakan,
ditambah dengan perangsang telur, dan tepung ikan, memberikan hasil yang cukup
menggembirakan. Ketika saya membeli ayam nyaris apkir sebanyak 64 ekor
dan dalam setiap hari hanya berproduksi rata-rata 25 telur atau 40 persen,
kemudian setelah 10 hari saya terpaksa jual lagi 14 ekor untuk dipotong
sehingga bersisa 49 ekor, maka setelah minggu ke 3 dimulai, ayam yang sudah
mulai menua ini hasil produksi lebih baik. rata-rata per hari 30 – 34
telur per hari. Pada hari ke 20 bahkan bertelur sampai 44 telur (atau
nyaris 90%) bertelur. Saya masih menunggu hari-hari ke depan,
apakah stabil, atau ada penurunan drastis lagi. Namun, dengan angka
bertelur sebesar ini, setidaknya langkah awal sebagai peternak pemula yang
berusaha menekan atau mengurangi pembelian pakan pabrik dengan membeli sendiri
memberikan tanda-tanda menggembirakan.
Hari-hari
Pertama Menetaskan Telur Puyuh
Sekitar jam 15.30, tanggal 7 Mei
2013 pagi saya masuk ke tempat penetasan telur puyuh. Terdengar suara
halus dari dalam telur puyuh yang sedang ditetaskan. Ini adalah hari ke
17 atau ke 18 puyuh di dalam mesin tetas semi otomatis(menggunakan termostat
dan termometer) serta 8 lampu 5 watt merk Eterna. Kapasitas mesin sekitar
800 butir.
Suara-suara dari dalam telur itu
pertanda telur akan menetas. Jam 10.30 pagi, tetasan pertama mulai keluar
dan berturut-turut bermunculan. Saya cukup sibuk memindahkan telur yang
akan menetas ke tempat telur menetas yang sudah disiapkan. Agak
bingung juga menanganinya, maklumlah ini adalah penetasan pertama kali.
Tanggal 7 Mei 2013
Jumlah telur yang menetas semakin banyak,
mulai dari jam 10.30 pagi sampai sore hari sudah sekitar 300 – 400 butir yang
menetas. Ramai benar bunyi cit-cit-cit yang keluar telur
tetas. Hari pertama ini, anak puyuh yang masih kecil-kecil
dibiarkan saja berada dalam ruang penetasan. Kebanyakan masih basah
ketika keluar dari telur, sebagian masih berjuang keluar dari telur.
Temperatur masih tetap sama dengan saat penetasan, yaitu 38-39 derajat Celcius.
Tanggal 8 Mei 2013
Anak-anak puyuh yang sudah kering
badannya, dipindahkan dari mesin tetas ke ruang inkubator (ruang pemanas) yang
sedikit lebih luas dari ruang penetasan. Menampung kira-kira 100-150 ekor
puyuh yang baru menetas. Tiap meter perseginya disediakan pemanas dengan
lampu Eterna 5 watt. Temperaturnya sekitar 37 derajat.
Minum, diberikan air minum dicampur
gula merah. Tidak diberikan makan.
Tanggal 9 Mei 2013
Ada 1 ekor mati, lalu diambil.
Ada 5 yang tampaknya lemas, tapi dibiarkan tetap dalam mesin tetas. Masih
ada sekitar 200 lebih yang belum menetas. Beberapa diambil lalu didengar
suaranya dengan cara telur diambil dan didekatkan ke telinga.
Pada hari ketiga ini disimpulkan
yang pada hari ketiga tidak ada tanda-tanda akan menetas, diambil kemudian
direbus (untuk kemudian akan digunakan sebagai campuran pakan).
Hari ketiga ini mulai diberikan
makan, yaitu BR 511 (pakan starter ayam pedaging) yang ditumbuk lagi agar lebih
halus, hampir sama dengan tepung. Pakan diberikan dengan cara disebarkan
di atas alas koran.
Tanggal 10 Mei 2013
Masih ada 14 telur yang masih
diharapkan menetas. Empat ekor kemudian menetas sendiri, sisanya ada
10. Beberapa menetas dibantu, karena tidak mampu keluar dari telur.
Menurut pakar, tindakan ini tidak boleh dilakukan. Biarkan saja mati
atau harus berhasil keluar dengan tenaga sendiri. Beberapa yang
dibantu keluar dari telur, memang kondisinya cacat, tidak sempurna dan memang
beberapa hari kemudian akhirnya mati.
Dari 10 telur tersebut, 6 keluar
dari telur dan kemudian mati.
Tanggal 11 Mei 2013
Mati 3 ekor di kandang perbesaran
(inkubator), 7 yang tampaknya lemah dipelihara di kandang terpisah.
Pakan diberikan dengan tambahan
bubuk kunyit yang dicampurkan pada pakan.
Tanggal 12 Mei 2013
Ada lagi yang mati sebanyak 7 ekor.
Kegiatan makan tampak mulai rakus.
Tanggal 13 Mei
Ada lagi yang mati sebanyak 2 ekor.
TAnggal 14 Mei 2013
Direncanakan akan divaksin untuk
pencegahan terhadap ND. Bibit puyuh tidak diberikan minum selama
satu jam sebelum diberikan vaksin ke dalam minuman, lalu alas kandang tempat
makan dan kotoran dibersihkan.
Hari ini ada yang mati 6 ekor.
Mungkin matinya malam sebelumnya hanya diambilnya pagi hari sewaktu akan
mengganti alas kandang.
Vaksin diberikan melalui tempat
minum.
Tanggal 15 Mei 2013
Ada yang mati lagi 2 ekor.
Minuman untuk puyuh hanya air putih.
Pakan diberikan dicampur dengan susu
probiotik kefir.
Masih ada sekitar 600 bibit puyuh
yang menuntut perhatian, terutama pakan dan minum serta jangan sampai
kedinginan. Tingkat keberhasilan penetasan ini sekitar 75 persen.
Dari 200 telur puyuh yang tidak menetas, kurang lebih 30-40%nya memang tidak
ada bibitnya (embrio)nya. Jadi wajar tidak menetas. Sebagian lagi
memang tidak menetas.
Memang sewaktu akan masuk penetasan,
umur telur tetas bervariasi mulai dari umur satu hari sampai 10 hari.
Menurut kata ahli, sebaiknya yang ditetaskan berumur kurang dari 7 hari sejak
puyuh bertelur.
Saya belum menghitung berapa persen
jantan dan betina yang berhasil ditetaskan ini. Yang jelas, sewaktu
memilih telur, saya gunakan saran beberapa peternak : Yang bulat adalah betina,
yang lancip jantan. Saya usahakan pilih hanya yang betina saja.
Tidak ada komentar
Posting Komentar